Sukoharjo - Nama Agung Syuhada melambung setelah diketahui sebagai guru ngaji
keluarga Presiden RI sejak 10 tahun yang lalu. Namun tidak banyak yang
tahu, sebelum mendalami agama, pengasuh Ponpes Kholifatulloh Singo
Ludiro ini preman.
“Sebenarnya saya malu kalau ada yang tahu kehidupan masa lalu saya, setiap hari berkelahi dan punya banyak pengikut, suka mencuri barang orang tua dijual hanya untuk mentraktir teman,” kata Agung Syuhada, Minggu (21/6).
Sebagai mantan preman jalanan, pastinya sudah banyak mengenal karakter dari berbagai lapisan masyarakat. Inilah yang membuat, materi dakwahnya lugas, santai dan mudah dipahami oleh semua kalangan.
Setelah memutuskan untuk menikah, akhirnya kehidupan kerasnya di jalanan ditinggalkan dan mulai memperdalam ilmu agama. Hingga akhirnya memutuskan untuk mendirikan pondok pesantren untuk anak-anak jalanan dan tidak mampu.
Dengan perjuangan cukup keras, akhirnya cita-cita bersama istrinya yang berlatar belakang dari kalangan pesantren tercapai. Sebidag tanah di tepi Sungai Bengawan Solo, tepatnya di Dusun Mojo, Desa Laban, Kecamatan Mojolaban, yang dibelinya didirikan Pondok Pesantren Kalifatulloh Singo Ludiro.
Nama Singo Ludiro diambil dari perjalanan hidup Agung. Yang berarti, Singo adalah hewan Singa dan, Ludiro adalah kata lain dari darah. Dengan maksud, agar para santrinya memiliki semangat pemberani kerjak keras dan ceras.
“Saya menggambarkan singa itu hewan yang cerdas, pemberani dan kerja keras. Saya berharap darah singa bisa mengalir ke anak-anak santri saya menjadi generasi muda Islami yang cerdas, pemberani dan kerja keras,” tandasnya
“Sebenarnya saya malu kalau ada yang tahu kehidupan masa lalu saya, setiap hari berkelahi dan punya banyak pengikut, suka mencuri barang orang tua dijual hanya untuk mentraktir teman,” kata Agung Syuhada, Minggu (21/6).
Sebagai mantan preman jalanan, pastinya sudah banyak mengenal karakter dari berbagai lapisan masyarakat. Inilah yang membuat, materi dakwahnya lugas, santai dan mudah dipahami oleh semua kalangan.
Setelah memutuskan untuk menikah, akhirnya kehidupan kerasnya di jalanan ditinggalkan dan mulai memperdalam ilmu agama. Hingga akhirnya memutuskan untuk mendirikan pondok pesantren untuk anak-anak jalanan dan tidak mampu.
Dengan perjuangan cukup keras, akhirnya cita-cita bersama istrinya yang berlatar belakang dari kalangan pesantren tercapai. Sebidag tanah di tepi Sungai Bengawan Solo, tepatnya di Dusun Mojo, Desa Laban, Kecamatan Mojolaban, yang dibelinya didirikan Pondok Pesantren Kalifatulloh Singo Ludiro.
Nama Singo Ludiro diambil dari perjalanan hidup Agung. Yang berarti, Singo adalah hewan Singa dan, Ludiro adalah kata lain dari darah. Dengan maksud, agar para santrinya memiliki semangat pemberani kerjak keras dan ceras.
“Saya menggambarkan singa itu hewan yang cerdas, pemberani dan kerja keras. Saya berharap darah singa bisa mengalir ke anak-anak santri saya menjadi generasi muda Islami yang cerdas, pemberani dan kerja keras,” tandasnya